Batu Kapur dan Granit: Praktik Rekayasa Arsitektur Batu Mesir Kuno

Nov 18, 2024

Dalam sejarah kejayaan peradaban Mesir kuno, sejak Dinasti Ketiga, meluasnya penggunaan batu tidak hanya mencerminkan supremasi kekuasaan kerajaan, tetapi juga menunjukkan upaya orang Mesir kuno terhadap arsitektur abadi. Namun asal muasal dan perkembangan teknik tukang batu masih diselimuti misteri hingga saat ini.

1. Evolusi keterampilan tukang batu

Pyramid of Djoser & Mastaba tomb

Keterampilan tukang batu di Mesir kuno mengalami transisi dari teknik tukang batu kecil ke teknik megalitik, terutama ditandai dengan kompleks Piramida Djoser. Piramida Djoser, dibangun pada tahun 2650 SM, adalah makam Firaun Djoser dari Dinasti Ketiga Mesir kuno, dirancang oleh arsitek terkenal Imhotep. Piramida ini tidak hanya merupakan pencapaian besar dalam sejarah arsitektur Mesir kuno, tetapi juga bangunan raksasa pertama di dunia yang seluruhnya terbuat dari batu.

Inspirasi desain Piramida Djoser berasal dari makam "Mastaba" awal, yaitu bangunan berbentuk persegi panjang yang dibangun dari batu bata lumpur dan bagian atasnya rata. Seiring waktu, para firaun berharap untuk mencerminkan otoritas dan keabadian mereka melalui arsitektur yang lebih megah, sehingga Imhotep secara bertahap menumpuk Mastaba untuk membentuk piramida bertingkat enam. Desain ini tidak hanya memukau secara visual, tetapi juga melambangkan "tangga" firaun menuju surga.

Ketinggian keseluruhan Piramida Djoser sekitar 60 meter, dengan panjang alas sekitar 143 meter. Seluruh kompleks meliputi area seluas 37 hektar dan dikelilingi oleh tembok persegi panjang. Ada banyak kuil dan halaman di dalamnya. Bagian luar piramida terbuat dari batu kapur, sedangkan bagian dalamnya dirancang dengan ruang pemakaman yang rumit dan lorong untuk melindungi tubuh dan objek pemakaman firaun.

Selama pembangunan Piramida Djoser, arsitek Imhotep menggunakan sejumlah besar balok batu kapur, dan teknik pemotongan serta pengangkutan balok-balok tersebut cukup maju pada saat itu. Para arkeolog memperkirakan sekitar 2,3 juta keping batu digunakan untuk membangun piramida ini, dengan masing-masing keping berbobot rata-rata sekitar 2,5 ton. Pemotongan yang presisi dan jahitan yang rapat ini memastikan struktur piramida tetap stabil selama ribuan tahun.

Selain itu, orang Mesir kuno juga mengembangkan mesin pengangkat dan pengangkut, menggunakan prinsip tuas sederhana dan sistem katrol untuk membawa benda berat. Kemajuan teknologi ini meletakkan dasar bagi arsitektur megalitik di kemudian hari.

Piramida Djoser tidak hanya mencapai puncaknya dalam teknologi, tetapi juga menunjukkan kepercayaan luar biasa orang Mesir kuno terhadap seni. Desain eksterior piramida mencerminkan pemahaman dan penerapan bentuk geometris orang Mesir kuno, menghadirkan suasana stabil dan khusyuk secara keseluruhan. Setiap lapisan piramida telah dirancang dengan cermat, dengan batu kapur bagian luar dipoles hingga permukaan halus yang memantulkan cahaya menyilaukan, melambangkan kesucian dan keabadian firaun.

2. Bahan dan Teknologi Bangunan

Ada berbagai jenis batu yang digunakan dalam arsitektur Mesir kuno, termasuk batu kapur, granit, dan batu pasir, masing-masing memiliki tujuan dan sumber tertentu.

Pyramid of Giza

Batu kapur adalah batu yang paling umum digunakan dalam arsitektur Mesir kuno, terutama digunakan untuk lapisan luar piramida dan dinding bangunan lainnya. Teksturnya relatif lembut, mudah diukir dan diolah, cocok untuk detail dekoratif dan fondasi bangunan besar. Lapisan luar Piramida Gizaterbuat dari batu kapur putih berkualitas tinggi dari tambang Tula, yang tidak hanya indah tetapi juga memiliki daya tahan yang baik.

Granit adalah bahan batu keras yang terutama digunakan untuk membangun struktur penting seperti makam, lorong, dan peti mati batu. Karena kekerasannya yang tinggi, orang Mesir kuno biasanya menggunakan perkakas tembaga atau perunggu saat mengolah granit. Tambang granit di wilayah Aswan merupakan sumber utama batu jenis ini bagi masyarakat Mesir kuno. Teknik penambangan dan pengolahan granit relatif rumit, biasanya memerlukan penggunaan metode pembakaran akhir dan pendinginan air agar batu lebih rentan retak.

Batu pasir memiliki kekerasan yang rendah dan relatif mudah untuk ditambang dan diproses, sehingga banyak digunakan dalam konstruksi. Karena kelembutannya, batupasir biasa digunakan untuk ukiran dan elemen dekoratif, sehingga cocok untuk dinding kuil dan bangunan keagamaan lainnya.

Teknik penggalian di Mesir kuno bervariasi sesuai dengan kondisi penggalian dan kekerasan batuan. Penggali biasanya memilih metode penambangan yang berbeda berdasarkan karakteristik batunya.

Batu kapur dan batu pasir umumnya ditambang oleh orang Mesir kuno menggunakan metode penambangan terbuka. Di dalam tambang, para pekerja pertama-tama akan memahat sambungan pemisah dan kemudian menggunakan tuas untuk mencungkil batu-batu tersebut. Cara ini sangat efektif dalam penambangan batu kapur dan batu pasir.

Untuk batuan keras seperti granit, orang Mesir kuno mungkin memilih metode penggalian bawah tanah. Dengan menggali terowongan, mereka dapat menjangkau lapisan batuan yang lebih dalam dan menggunakan teknik seperti pelapisan api dan pendinginan air untuk membuat batuan lebih rapuh dan mudah ditambang.

Orang Mesir kuno menggunakan berbagai peralatan dalam menambang dan mengolah batu, termasuk pahat tembaga, palu batu, dan irisan kayu. Dengan perkembangan teknologi, perkakas perunggu dan besi secara bertahap diperkenalkan, yang semakin meningkatkan efisiensi pemrosesan batu.

Orang Mesir kuno memanfaatkan kemudahan transportasi Sungai Nil untuk mengangkut batu dari tambang ke lokasi konstruksi. Selama pengangkutan, mereka menggunakan alat sederhana seperti kereta luncur kayu dan perosotan untuk menyeret batu seberat beberapa ton ke tempat tujuan. Para arkeolog telah menemukan bahwa orang Mesir kuno mungkin juga meletakkan pasir halus yang direndam dalam air di jalan saat mengangkut batu untuk mengurangi gesekan dan memudahkan pemindahan batu.

Saat mengolah batu, pengrajin Mesir kuno menggunakan teknik pemotongan dan ukiran yang berbeda berdasarkan sifat dan tujuan batu tersebut. Untuk batu keras seperti granit, pengrajin akan menggunakan palu dan pahat yang berat untuk mengukir detail guna memastikan bentuk dan ukuran batu memenuhi persyaratan bangunan.

3. Membangun Teknologi dan Praktek

Meskipun teknik tukang batu pada Dinasti Ketiga menunjukkan keahlian yang luar biasa dalam penampilan, terdapat kekurangan yang signifikan dalam hal kekuatan struktural dan daya tahan. Misalnya, dalam proses pembangunan Piramida Djoser, untuk mendapatkan tampilan estetis, batu-batu tersebut dipoles sedemikian rupa sehingga dapat disambung secara tepat satu sama lain dengan jarak hanya beberapa sentimeter, namun penyatuan yang tepat ini harus dibayar mahal. mengorbankan ketahanan struktural. Seiring berjalannya waktu, jarak antar batu bertambah dengan cepat, sehingga mengancam stabilitas bangunan.

Orang Mesir kuno menunjukkan inovasi teknologi mereka dalam pengangkutan dan penanganan batu. Mereka memanfaatkan Sungai Nil untuk mengangkut batu dari tambang ke lokasi pembangunan. Selama transportasi, orang Mesir kuno menggunakan alat sederhana seperti kereta luncur kayu dan perosotan untuk menyeret batu seberat beberapa ton ke tempat tujuan. Para arkeolog telah menemukan bahwa orang Mesir kuno mungkin juga meletakkan pasir halus yang direndam dalam air di jalan saat mengangkut batu untuk mengurangi gesekan dan memudahkan pemindahan batu.

Dalam praktik arsitektur, permasalahan dinamis yang dihadapi masyarakat Mesir kuno terutama tercermin pada keterbatasan teknis dalam mengangkat dan memindahkan benda berat. Misalnya, pembangunan piramida memerlukan pengangkatan batu-batu besar hingga ketinggian yang cukup tinggi, sedangkan teknologi dan peralatan pada saat itu relatif primitif. Para ahli telah mengajukan berbagai hipotesis, termasuk penggunaan jalur bantu, pengangkat tuas, prinsip katrol, dll., namun masih belum ada konsensus yang terpadu. Metode-metode ini memerlukan perhitungan mekanis yang tepat dan pemahaman mendalam tentang sifat mekanis material, yang tidak diragukan lagi merupakan tantangan besar bagi orang Mesir kuno.

Tantangan yang dihadapi orang Mesir kuno dalam teknologi arsitektur terutama datang dari pengolahan batu dan stabilitas struktur bangunan. Mereka perlu menyelesaikan pemotongan, penanganan, dan penempatan batu secara tepat tanpa peralatan mekanis modern. Selain itu, masalah stabilitas struktur bangunan juga perlu diatasi, terutama ketika membangun bangunan besar di tanah aluvial lunak.

4. Struktur dan Stabilitas Bangunan

Temple of Karnak

Stabilitas fondasi arsitektur Mesir kuno terutama diwujudkan dalam ketergantungannya pada tanah aluvial lunak. Misalnya, di Kuil Karnak, beberapa tembok kota terbesar dibangun dengan hanya meletakkan pasir setebal 45 sentimeter di dasar parit sebagai fondasinya. Metode perawatan pondasi ini sangat rentan dalam menghadapi bencana alam seperti banjir. Dalam banjir pada bulan November 1899, 11 pilar batu besar Kuil Karnak tersapu, dan kemudian diketahui bahwa fondasi pilar-pilar tersebut hanyalah beberapa batu kecil rapuh yang ditempatkan secara acak di dalam gua.

Orang Mesir kuno memiliki beberapa prinsip aneh dalam memoles dan meletakkan batu, yang dapat membingungkan tukang batu modern. Perhatian mereka terlalu terfokus pada sambungan lapisan dan sambungan menanjak di bagian luar tembok, sehingga sambungan antar batu di dalam tembok hampir diabaikan seluruhnya. Hal yang paling mengejutkan adalah lapisan yang meninggi sering kali miring ke arah garis lapisan atau garis permukaan luar, dan ketinggian batu pada lapisan yang sama terkadang berbeda.

Beragamnya bentuk dan ukuran batu yang digunakan dalam metode konstruksi ini jelas membawa banyak kesulitan bagi para pengrajin. Pada mulanya sambungan ke atas antar batu-batu tersebut jelas tidak diatur pada tempatnya, artinya baru dilakukan setelah batu-batu tersebut sudah terpasang pada tempatnya. Sebelum dipasang, batu-batu tersebut disusun dalam barisan dan dihubungkan ujung ke ujung untuk membuat sisi kedua batu kira-kira sejajar pada sambungannya. Penyesuaian terakhir dilakukan dengan mengubah kemiringan meja goyang. Metode konstruksi ini berdampak pada stabilitas bangunan, karena permukaan kontak antar batu telah diproses relatif datar, dan sambungan kering dapat dilakukan sepenuhnya. Oleh karena itu, dapat dianggap bahwa plester tidak digunakan untuk tujuan pengikatan.

Terlepas dari tantangan tersebut, bangsa Mesir kuno berhasil membangun bangunan megah seperti piramida melalui inovasi teknologi yang berkelanjutan. Misalnya, pembangunan piramida memerlukan pondasi yang kokoh. Arsitek Mesir kuno menggunakan banyak tenaga kerja dan batu untuk meletakkan fondasi piramida dengan hati-hati. Fondasi ini menjamin stabilitas piramida dan mencegah masalah penurunan pondasi. Struktur piramida mengikuti prinsip-prinsip geometris yang tepat, secara bertahap mengecil dari atas ke bawah untuk membentuk segitiga sama sisi yang sempurna, memastikan stabilitas struktur. Desainnya sepenuhnya memanfaatkan karakteristik segitiga berkekuatan tinggi dan meningkatkan ketahanan gempa piramida.

Mulai dari Dinasti Keempat, teknologi arsitektur batu Mesir mengalami stagnasi, bahkan mengalami kemunduran pada masa Kerajaan Baru. Dinasti Keempat dianggap sebagai "Zaman Kehormatan" Mesir kuno, dengan simbol paling menonjol adalah pembangunan piramida. Namun, setelah Dinasti Keempat, meski skala arsitekturnya tetap besar, terdapat tren stagnasi atau bahkan penurunan inovasi teknologi dan kualitas bangunan. Pada masa Kerajaan Baru (sekitar abad ke-16 SM hingga abad ke-11 SM), meskipun kerangka arsitektur dan penataan ruang sudah sangat matang, namun tingkat kehalusan dan inovasi teknologi dalam arsitektur tidak melampaui generasi sebelumnya.

Selama periode Kerajaan Baru, meskipun perawatan sambungan pada dinding masih memerlukan penanganan yang hati-hati, material berkualitas rendah dan konektor yang buruk digunakan untuk pengisian internal. Banyak pintu menara candi yang hanya terbuat dari batu pecah, dan dinding persimpangan di dalamnya juga lemah. Hanya dengan membagi ruang menjadi unit-unit yang lebih kecil, struktur dapat distabilkan.

5. Masalah khusus arsitektur piramida

Struktur dasar piramida terdiri dari batu-batu besar, pasir, dan batu kapur, dengan alas biasanya berbentuk persegi yang hampir sempurna. Keseluruhan struktur dapat dibagi menjadi dua bagian: fasad luar dan ruang dalam. Permukaan luarnya dilapisi batu pipih, sedangkan bagian dalamnya terdapat rangkaian saluran, ruang pemakaman, dan rongga. Bentuk limas terdiri dari empat bidang segitiga yang berpotongan sehingga membentuk penampakan limas. Tiap bidang segitiga mempunyai panjang sisi dan sudut yang sama, sehingga tampilan limas tampak seragam.

Stabilitas piramida adalah kunci desain strukturalnya. Bagian dalam piramida tersusun dari banyak batu atau bata kokoh yang disusun secara presisi sehingga membentuk struktur yang kokoh dan stabil. Desain tata ruang di dalam piramida juga membantu mendistribusikan tekanan, membuat keseluruhan bangunan lebih stabil. Selain itu, desain pondasi piramida juga sangat penting karena dibangun di atas batuan keras untuk menjamin stabilitas seluruh bangunan.

Bagian dalam piramida dirancang dengan struktur tata ruang yang kompleks, termasuk koridor panjang, aula tertutup, dan sebagainya. Struktur spasial ini tidak hanya meningkatkan stabilitas piramida, tetapi juga berfungsi sebagai makna simbolis yang misterius, menjadikan piramida sebagai situs keagamaan. Misalnya, ruang segitiga siku-siku di dalam Piramida Giza, dengan rasio 3:4:5 di setiap sisinya, mewujudkan nilai numerik dari teorema Pythagoras. Desain ini tidak hanya memberikan stabilitas struktural, tetapi juga menunjukkan kebijaksanaan matematis orang Mesir kuno.

Proses pembangunan piramida adalah proyek yang besar dan kompleks. Orang Mesir kuno menggunakan berbagai metode untuk mengangkut batu besar, dan untuk batu yang lebih kecil, pekerja dapat mengangkutnya dengan tangan atau menggunakan alat sederhana seperti katrol dan perosotan. Untuk batu berukuran besar, orang Mesir kuno menggunakan katrol dan hewan ternak seperti sapi untuk menariknya, atau mengangkutnya melalui air dari tambang terdekat ke lokasi konstruksi.

Fasilitas anti maling di piramida dirancang secara unik, misalnya sistem anti maling di Piramida Khufu mencakup dua fasilitas anti maling. Perangkat anti-pencurian pertama adalah menempatkan tiga batu penyegel granit keras yang telah disimpan sebelumnya di saluran koridor utama di sepanjang jalan miring dari jalur menaik, menutup rapat pintu masuk dan jalur menaik piramida. Alat anti maling kedua terletak di ruangan kecil sistem anti maling di depan koridor horizontal di pintu masuk makam raja. Dulunya terdapat bongkahan batu granit yang berukuran panjang 1,9 meter, lebar 1,2 meter, dan tinggi sekitar 1,5 meter, serta beratnya hampir 10 ton.

6. Desain dan konstruksi arsitektur candi

Tanah kuil Mesir kuno biasanya terdiri dari batu-batu yang disusun secara acak yang terkubur seluruhnya di dalam tanah, dan permukaannya diratakan di tempatnya. Basis kolom terdiri dari batu-batu kecil yang menembus perkerasan dan ditempatkan di bawahnya, atau ditempatkan langsung di atas perkerasan. Kadang-kadang, mereka ditempatkan pada tonjolan melingkar dangkal yang ditinggalkan oleh proses pengerasan jalan batu. Desain ini tidak hanya menjamin stabilitas struktur, tetapi juga mencerminkan penanganan detail yang sangat indah.

Pilar terbuat dari batu tunggal atau komposit, mewakili dua asal utama dalam dua bentuk berbeda. Jenis kolom yang bentuknya sama dengan arsitektur Saqqara Dinasti Ketiga, dengan asal usul bentuk kepala kolom adalah tumbuhan seperti papirus, teratai, dan palem; Tipe lain lebih mencerminkan bentuk kolom lurus kokoh yang digunakan untuk menopang atap di dalam tambang batu. Aula pilar utama Kuil Karnak meliputi area seluas lebih dari 5.000 meter persegi, dengan 134 pilar batu yang disusun dalam 16 baris. Dua baris tengahnya sangat besar, dengan masing-masing pilar mencapai ketinggian 21 meter dan diameter 3,57 meter. Dapat menampung 100 orang yang berdiri di atasnya.

Sejak Dinasti Keempat, atap pada umumnya dipasang secara horizontal, sehingga perlu diperhatikan cara membuat sambungannya kedap air dan melindungi cat dalam ruangan dari kerusakan akibat kelembapan. Mulai dari periode Kerajaan Tengah, masyarakat memecahkan masalah ini dengan menyematkan pinggiran batu kecil yang dipotong halus di antara panel atap yang ditinggikan. Untuk mengalirkan air hujan, terkadang dibuat kemiringan dengan kemiringan tertentu pada atap, dan terkadang ditempelkan mozaik yang terbuat dari batu-batu kecil di atap untuk mengarahkan aliran air ke pipa drainase yang menonjol dari dinding untuk dibuang.

Pada persimpangan antara dinding bagian dalam dan langit-langit, biasanya terdapat banyak lubang untuk penerangan dan ventilasi, pengganti jendela. Alasan pembukaan lubang di lokasi ini diduga untuk meminimalisir potensi kerusakan akibat kondisi cuaca. Jendela yang benar-benar memberikan cahaya samping yang tinggi baru muncul pada periode Kerajaan Baru. Kemudian, ia berevolusi dari jendela satu blok menjadi jendela dengan kisi-kisi.

7. Masalah lingkungan bangunan

Seiring waktu, bangunan di sekitar candi berulang kali dibangun kembali, menyebabkan lantai candi meninggi dan menyebabkan masalah drainase.

temples of Luxor

Masalah lantai yang ditinggikan di kuil-kuil Mesir kuno terutama disebabkan oleh seringnya kegiatan konstruksi di daerah sekitarnya, yang mengakibatkan penurunan permukaan tanah secara relatif di area kuil. Misalnya, di kuil Luxor dan Karnak, karena irigasi ekstensif di lahan pertanian di dekatnya, permukaan air Sungai Nil meningkat, dan tingkat salinisasi bangunan semakin dalam, menyebabkan erosi terus-menerus pada kuil kompleks. Di beberapa daerah, Sungai Nil naik setinggi 1,5 meter, dan pada saat yang sama, salinisasi mengikis pigmen yang digunakan untuk kolom dan patung.

Temple of Abu Simbel

Awalnya candi ini berfungsi sebagai pusat komunitas, namun seiring berjalannya waktu, aktivitas arsitektur di sekitarnya dan perubahan lingkungan alam telah mempengaruhi fungsi dan status aslinya. Misalnya Kuil Abu Simbeltelah mengalami banyak renovasi dan perluasan dalam sejarah. Arsitekturnya megah, dalam dan lebar, menghadap utara ke selatan, dengan aula depan dan kamar tidur belakang, seluas lebih dari 30.000 meter persegi. Perubahan tersebut tidak hanya mempengaruhi struktur fisik candi, tetapi juga kedudukannya dalam masyarakat dan budaya.

Tinggalkan pesan

Tinggalkan pesan
Dapatkan sampel & penawaran gratis - silakan tinggalkan pesan kepada kami, kami online 7*24 jam untuk menjawab semua pertanyaan Anda. Sekarang, mari kita bicara tentang proyek Anda!
Kirim
Mencari Produk?
Hubungi kami #
+86 181-5039-1891

Jam kerja kami

Layanan online 24 jam

Rumah

Produk

whatsApp

kontak